Momen IPO dari beberapa perusahaan teknologi besar, khususnya unicorn ini membuka pandangan kita tentang bagaimana industri ecommerce ini berjalan.
Kita bisa dengan mudah mengakses semua data terkait yang ada di perusahaan tersebut dan menilainya.
Hasilnya tentu sangat mencuri perhatian karena mungkin bisa dibilang, perusahaan ini besar, namun rapuh.
Sejak Bukalapak, dan Tokopedia membuka datanya ke publik, kita semua terheran heran dengan kerugian yang dialaminya.
Nilai transaksi yang tinggi, trilliunan nilai Gross Transaction Value (GTV), masih tidak bisa memberikan kontribusi positif bagi perusahaan.
Mengakuisisi sebanyak mungkin pembeli dan mengundang sebanyak mungkin penjual (merchant) mungkin bukan jalan terbaik bagi perusahaan untuk membangun profitabilitas.
Di sisi lain, para penjual mendapatkan keuntungan yang mungkin lebih bersih dibandingkan dengan platform itu sendiri.
Ratusan juta (bahkan miliaran?!) bisa didapat oleh para pelapak online atau merchant di platform, sedangkan platform hanya mendapatkan 1-3% persen dari nilai transaksi tersebut.
Tentunya dengan beban operasional yang juga tidak sedikit.
Semua barang dari dalam dan luar negeri lalu lalang di dalam platform dengan margin produk yang beragam, sedangkan platform lagi lagi hanya mendapatkan beberapa persen dari nilai tersebut.
Platfrom Online Marketplace tersebut melihat ada kebocoran yang sepertinya agak sulit ditanggulangi, yang bahkan mungkin merugikan perusahaan.
Manajemen mungkin akhirnya berpikir untuk bertransformasi, dari sekedar saluran penjualan (channel), menjadi middle-man.
Ya, middle man !
Marketplace Telah Mati, dan Ini Suksesornya.
Marketplace
Analogi yang mudah dari marketplace (atau pasar) adalah anggaplah Anda memiliki lapak tanah sekian ratus meter persegi.
Kemudian, Anda mulai memetak-metakan tanah menjadi beberapa meter persegi, sehingga menciptakan beberapa lapak yang bisa dipakai untuk berjualan.
Pada konsep marketplace (pasar) yang sesungguhnya, para calon penjual atau pelapak harus membeli atau menyewa lapak tersebut setiap bulannya.
Posisi lapak pun mungkin akan mempengaruhi harga, seperti misalnya lapak yang berada di posisis strategis akan lebih mahal dibandingkan dengan lapak yang ada di ujung belakang.
Anda sebagai pemilik lapak mendapatkan keuntungan dari jasa sewa lapak bagi para penjual tersebut.
Terlepas dari apapun yang para penjual lakukan untuk mendapatkan dan mempertahankan pelanggan, karena itu adalah konsekuensi yang akan diterima oleh si penjual.
Namun, pada konsep online marketplace, penjual bisa mendapatkan lapak secara gratis, sama sekali.
Lebih dari itu, bahkan si pemilik aplikasi, membantu mempromosikan produk Anda dengan kemudahan kemudahan potongan belanja.
Sedangkan Anda, sebagai pemilik aplikasi, hanya mendapatkan pemasukan sebesar 1-3% dari setiap transaksi yang ada di sana.
Sangat bertolak belakang dengan konsep pasar pada umumnya yang mungkin para pemilik tanah tidak perlu melakukan maintenance secara rutin, online marketplace justru harus melakukan maintenance secara rutin.
Biaya server dan add-on fitur terkait tentu tidak murah dan bahkan mungkin tidak bisa menutup biaya operasional dari pemasukan yang hanya beberapa persen dari setiap transaksi tersebut.
Bagaimana menurut Anda?
Betul, mungkin sebagian besar dari kita menilai hal ini tentu kurang ideal.
Sebagai pemilik tanah, harusnya kita yang banyak mendapatkan keuntungan dibandingkan dengan pengguna lapak gratisan tersebut.
Saat ini platform hanya dijadikan sebagai saluran distribusi jual beli atau meja transaksi saja di atas margin produk yang berlimpah.
Tidak, sama sekali tidak menguntungkan.
Lagi, menjadi middle-man mungkin akan menjadi aternatif solusi yang ideal.
Middle-Man
Kalau Anda pernah bertemu dengan orang yang aktif menjual barang orang lain dan dia mengambil keuntungan dengan sedikit menaikkan harganya, maka itulah middle man yang dimaksud.
Ya, mungkin bahasa lain dari Makelar atau Broker.
Kalau online marketplace Anda hanya mendapatkan komisi 1-3% dari si penjual, maka dengan menjadi broker Anda bisa mengambil 10-30% (bahkan lebih) dari nilai produk.
Terlihat lebih menarik bukan?
Tantangan dari menjadi middle-man ini cukup beragam, seperti :
- Si pemilik produk yang juga jualan dengan harga yang lebih murah.
- Broker lain yang mungkin mematok harga di bawah Anda.
- Update mengenai stok produk yang tersedia.
- dsb
Para middle man ini sangat menggantungkan hidupnya pada komunikasi dengan pelanggan dan supplier untuk bisa mendapatkan penjualan.
Namun dari kerja kerasnya, akhirnya dia bisa mendapatkan margin lebih lebar yang sesuai dengan keinginannya dibandingkan sekedar komisi dari supplier yang mungkin hanya beberapa persen saja.
Mengingat model bisnisnya yang cukup rumit, komunikasi antara supplier dan pembeli sebagaimana middle-man pada umumnya menjadi sangat kompleks apabila dilakukan oleh online marketplace.
Kalau saat ini ada 10 juta penjual di platform, maka akan ada divisi khusus yang menjadi middle-man untuk mengecek ketersediaan stok dan konfirmasi pembelian ke customer.
Bayangkan berapa hectic-nya suasana divisi tersebut.
Sebagai alternatif solusi, platform marketplace mengajak para penjual untuk menempatkan produknya di tempat yang sudah disediakan oleh platform, sehingga update stok bisa dengan mudah dilakukan.
Komunikasi ke pembeli juga lebih cepat dan mudah.
Alurnya menjadi begini :
- Pemilik produk menempatkan produknya di gudang yang sudah disediakan.
- Platform menjual produk dari stok di gudang tersebut.
- Platform mendistribusikan produk ke pembeli.
- Platform mendapatkan keuntungan dari margin produk.
Kalau begitu, seberapa besar margin yang didapatkan oleh platform dari produk?
Kan produknya juga dari penjual yang mungkin aja penjual tersebut juga bukan official sellernya?
Betul juga !
Pengamatan yang bagus.
Produk Eksklusif
Dalam dunia jual beli, maka si produsen lah yang pada akhirnya diuntungkan, mau bagaimana pun cara jualannya.
Pihak kedua yang mungkin juga bisa mendapatkan keuntungan adalah si pemegang hak jual eksklusif.
Eksklusifitas ini adalah margin.
Semakin eksklusif Anda berperan sebagai agen penjual produk, maka semakin lebar margin Anda, terlebih kalau produk yang sangat tinggi demand-nya.
Sangat menarik.
Contoh mudahnya adalah pada perusahaan farmasi yang memegang hak paten terhadap satu formula obat tertentu.
Obat yang dibilang paten itu, artinya obat yang formula di dalamnya memiliki hak paten dari produsen tertentu.
Dengan kata lain, pabrik lain tidak boleh meniru formula obat tersebut.
Bisa ditebak?
Ya, Anda menjadi penjual eksklusif dari produk tersebut yang bahkan sama sekali tidak ada orang lain yang menjual produk serupa.
Semakin eksklusif Anda, maka semakin lebar margin Anda.
Saya pernah membahas tentang eksklusifitas sebagai alternatif solusi dari bisnis online grosir sayuran yang produknya notabene adalah produk yang sangat umum ditemukan di pasar.
Online Marketplace yang ingin bertransformasi menjadi middle-man, maka perlu untuk mempertimbangkan eksklusifitas dari produk yang akan dijual.
Atau paling tidak jadi tangan pertama dan satu satunya saluran distribusi dari produk atau brand tersebut.
Tokopedia menjadikan beberapa syarat seperti hanya Gold Member atu Official Store lah yang diperbolehkan menggunakan fitur Dilayani Tokopedia.
Fulfillment eCommerce
Lebih dari sekedar middle-man atau makelar yang harus repot repot menjaga komunikasi, fulfillment Business Model adalah jawaban.
Bahasa yang cukup mudah dari bisnis fulfillment adalah seperti warung atau toko pada umumnya.
Anda melakukan pembelian barang, stok, pelayanan pelanggan dan pengiriman secara komprehensif.
Dan kalau Anda perhatikan, beberapa perusahaan teknologi yang sudah melantai di bursa saham melakukan hal ini.
Hal ini seperti dilakukan sebagai bentuk mitigasi dari kebocoran opportunity yang ada.
Kita coba bahas bagaimana Platform marketplace bertransformasi menjadi fulfillment Commerce :
Tokopedia – Dilayani Tokopedia
Tokopedia membuat fitur menarik yang sepertinya mengusung konsep fulfillment ecommerce, yaitu Dilayani Tokopedia
Konsepnya seperti yang dijabarkan di atas, bahwa Tokopedia punya gudang, pemilik brand atau official seller menempatkan barangnya di sana, dan selanjutnya dilayani oleh Tokopedia.
Tokopedia memberikan charge Rp. 5.000 untuk setiap produk yang dilayani oleh Tokopedia, disamping biaya sewa gudang.
Ya, akhirnya sekarang Tokopedia harus berjibaku dengan stok opname dan menajemen gudang.
Sebuah perusahaan platform yang awalnya menjual aplikasi dan office-based, sekarang harus juga masuk dunia pergudangan.
Dari sini akhirnya muncul layanan lain seperti Tokopedia NOW yang sudah sangat percaya diri dan mantap karena tahu update stoknya dan bisa dikirimkan kapanpun.
Dari sana juga, saya rasa, Tokopedia juga akhirnya memutuskan untuk membuat Tokopedia plus yang mengusung model bisnis subscription based.
Jadi Dilayani Tokopedia ini sekarang mirip dengan model bisnis B2C.
Catatan : mengenai fulfillment ini sudah diutarakan sendiri oleh GOTO di laporan tahunan 2021 yang menyatakan bahwa salah satu pendapatan mereka adalah dari keuntungan pengiriman barang dan penyewaan gudang.
Bukalapak – Mitra Bukalapak
Sedikit berbeda dengan yang dilakukan oleh Tokopedia, Bukalapak mengusung konsep O2O (Online to Offline).
Secara alur pesanannya cukup mirip dengan fulfillment business, namun sudut pandang yang digunakan lebih menarik.
Yaitu mengajak para warung untuk berbelanja kebutuhannya melalui Mitra Bukalapak.
Bukalapak membuka gudang dan mengisinya dengan produk produk tertentu, sekali ada pemesanan (atau bulk purchase) dari Mitra, maka mereka bisa langsung melakukan pengiriman.
Lagi lagi, sama sekali berbeda dengan core bisnisnya yaitu Marketplace.
Bukalapak melalui Mitra Bukalapak mulai juga melakukan model bisnis B2C.
Ya, sebagaimana bisnis Fulfillment lainnya, akhirnya Bukalapak buka Gudang, bekerjasama dengan beberapa platrom pergudangan seperti Crewdible dan IDCommerce
Dari gudang ini lah saya rasa konsep Mitra Bukalapak untuk pengadaan produk Grosir di-supply.
Blibli
Blibli ini menarik, karena pada dasarnya mereka ini bukan Marketplace seperti Tokopedia dan Bukalapak.
Melainkan pada dasarnya mereka sudah menjalankan model bisnis Fulfilment yang sudah kita bicarakan dari awal.
Jadi, mereka sama sekali tidak melakukan mekanisme penambahan gudang dan hal fundamental lainnya.
Alih alih menambah gudang, dalam prospektusnya, Blibli mengeluarkan statement menarik.
Blibli bilang mereka ingin fokus membuat produk produk eksklusif untuk memperlebar margin.
Dalam pertarungan fulfillment bisnis ini, maka Blibli sudah sedikit lebih didepan dibandingkan dengan para marketplace yang baru mau bertransformasi ke sana.
Yang lain sedang dalam tahap awal pengelolaan pergudangan, sedang blibli sudah berpikir untuk memperlebar margin melalui produk eksklusif.
Berguru ke Ahlinya
Jauh sebelum kita mengenal marketplace dan onine mall seperti Tokopedia, Bukalapak atau Blibli, ada beberapa bisnis yang memang mengusung konsep fulfillment sedari dulu.
Anda perlu mengenal SIRCLO.
SIRCLO mungkin melihat banyak pebisnis yang alih alih disibukkan untuk mengembangkan bisnisnya, malah sibuk urusan teknis operasional.
Akhirnya mereka menawarkan solusi :
“Udah, bapak ibu sibuk jualan aja, setiap ada pesanan, biar kami yang tangani”
Konsepnya mirip dengan apa yang Dilayani Tokopedia, Mitra Bukalapak, dan Blibli lakukan.
Penjual menempatkan produknya di gudang SIRCLO dan selebihnya mereka yang melakukan pengemasan dan distribusi.
Tugas Anda sebagai pemilik bisnis adalah mengembangkan bisnis Anda melalui beragam platform. Apapun !
SIRCLO bisa diintegrasikan dengan platform seperti marketplace atau bahkan toko online yang mereka juga siapkan untuk Anda.
Jumlah gudang yang dimiliki SIRCLO terlihat lebih banyak dibandingkan dengan yang dimiliki oleh ketiga brand lainnya :
- SIRCLO : 80+ Gudang
- Tokopedia : 12 Gudang di 6 Kota
- Bukalapak :
- IDCommerce : 4 Gudang (sumber dari Googe Maps)
- Crewdible : 100+ Gudang
- Blibli :
- Gudang : 14
- Hub : 33
Dari sudut pandang tempat distribusi ini saja, Sicrlo sudah unggul jauh di depan para raksasa commerce lainnya.
(Ya, Bukalapak memang cukup banyak, namun menggunakan pihak ketiga atau tidak dikelola sendiri)
Artinya, melalui SIRCLO, produk pesanan mungkin bisa jauh lebih cepat dari apa yang lainnya lakukan.
SIRCLO belakangan fokus memperlebar bisnisnya dengan mengembangkan platform pembuatan toko online yang mungkin akhirnya terintegrasi ke layanan mereka.
Sangat layak untuk dijadikan contoh atau benchmark fulfillment Commerce.
Marketplace sudah mati !
Maaf atas judul tulisan yang sangat tendensius, tapi marketplace belum sepenuhnya mati.
Walaupun masih cukup berdarah darah.
Ya, beberapa orang menilai bahwa marketplace sudah cukup saturated, sudah red ocean, berdarah-darah jualan di marketplace.
Bahkan beberapa penjual mengeluhkan tipisnya margin yang didapatkan karena harus banting bantingan harga.
Penjual yang notabene pemilik produk saja mengeluhkan margin tipis, apalagi platform yang hanya memungut 1-3% dari transaksi.
Kalau kita bercermin ke Amazon, sebagai toko online terbesar di dunia, mereka tidak mengusung konsep marketplace.
Alih alih, mereka mengadaptasi konsep B2C sebagaimana yang sudah dimulai oleh beberapa perusahaan commerce di Indonesia saat ini.
Mereka memiliki gudang yang tersebar di seluruh penjuru dunia, sehingga memungkinkan mereka untuk mendistribusikan produk lebih cepat.
Amazon lebih mudah dan leluasa untuk berinovasi, dengan tetap mendapatkan keuntungan.
B2C dinilai lebih ideal dibandingkan C2C (Customer to Customer).
Harus diakui memang, mengelola multisided business model seperti apa yang marketplace lakukan adalah hal yang sama sekali tidak mudah.
Namun, lagi, perusahaan tidak bisa selamanya besandar kepada dana dari investor dan mengambil selisih dari capital gain.
Profitabilitas itu harus dibangun dan melakukan pivot ke model bisnis B2C pun menjadi opsi yang cukup cerdas.
D2C is (also) coming
Ada satu hal menarik yang menjadi tantangan bagi para platform ecommerce yang kita bahas di atas.
Sebuah tantangan yang sekelas Amazon pun mengalaminya.
Betul, D2C (Direct to Customer).
Sebuah skema yang membabat habis semua jalur middle man.
Semua dilakukan langsung oleh para pemilik brand untuk mendistribusikan produknya langsung ke pelanggan dengan jaminan kualitas dan harga yang terpercaya.
Nike pada tahun 2019 memutuskan untuk keluar dari amazon dan membuat websitenya sendiri.
Sehingga kini tidak ada satu toko online pun yang memiliki license resmi untuk menjual produk dari Nike ini.
Para pembeli mungkin juga lebih memilih untuk membeli langsung di official website untuk kemudahan dan keterjaminan kualitas.
Kelak, D2C akan menjadi tantangan bagi sebagian besar penyedia platform eCommerce di Indonesia.
Jadi .. ecommerce ini memang sangat dinamis.
Anda setuju kan?