Mendengar kata risiko dalam berbisnis, kira kira apa yang mungkin terbayang di kepala kita?
Beberapa kejadian tidak menyenangkan seperti :
- Produk tidak ada yang beli.
- Produk rusak di jalan.
- Projek ditikung kompetitor.
- dsb
Hal hal tersebut adalah risiko bisnis yang cukup umum dan masuk akal, namun pernahkah Anda menghitung sebuah “persepsi” termasuk bagian dari daftar risiko tersebut?
Menjadikan Sentimen sebagai Risiko Bisnis
Persepsi
Apa yang Anda ingat kalau mendengar sebuah entitas bisnis seperti “Freeport” ?
Otak kita akan mempersepsikan Freeport sebagai perusahaan penambang emas terbaik di Papua yang bisa memberikan kesejahteraan kepada para pekerjanya.
Singkatnya, kalau ada teman Anda atau kerabat yang bekerja di Freeport, maka Anda akan berpikir :
- “Wah duitnya banyak dong”
- “Kerja tambang, ga pulang pulang ya?”
- dsb
Persepsi itu muncul dari apa yang brand atau entitas bisnis tersebut lakukan.
Persepsi yang akhirnya muncul di Masyarakat tersebut, bisa jadi tidak sama sekali sengaja di bentuk, bisa jadi sengaja dibentuk.
Persepsi yang sengaja di bentuk
Apa yang mungkin muncul di pikiran Anda ketika melihat orang lain menggunakan smartphone dengan logo buah apel yang sudah tergigit sedikit?
Ya, iPhone !
Beberapa persepsi yang mungkin muncul di pikiran Anda yaitu :
- Wah, pasti banyak duit.
- Pasti gajinya gede.
- Content Creator kayanya.
- dsb
Apple memang secara sengaja menciptakan produk yang inovatif, desain yang elegan dan dengan harga yang tidak murah.
Persepsi tersebut sengaja dibentuk oleh Apple dalam membuat semua produk lainnya termasuk MacBook, iWatch, dsb.
Apple mempersepsikan dirinya sebagai brand yang mendukung penuh Privacy, inovatif, mewah, dan tentunya stand out dari brand lain.
Semua campaign marketing Apple, nyaris selalu sukses untuk menciptakan persepsi tersebut di masyarakat, termasuk yang terakhir yaitu dengan campaign “Carbon Neutral”-nya.
Apple pun sampai saat ini masih menjadi top of mind untuk produk smartphone dengan total revenue yang tidak main main.
Sepanjang tahun 2023, Apple bisa mengumpulkan revenue sebesar $123 Miliar Dollar atau sekitar 1.900 Trilliun Rupiah.
Persepsi, menghasilkan revenue. Sama sekali bukan risiko, kan?
Kita beralih ke contoh yang lain.
Persepsi yang tidak sengaja dibentuk
Beberapa pemilik bisnis restoran tertentu mengeluhkan penurunan pendapatan yang sangat signifikan belakangan ini.
Bahkan menurut mereka, jauh lebih buruk dibandingkan saat Pandemi tahun 2020 lalu.
Dikutip dari Kumparan, Kurniadi sebagai pemilik lisensi Pizza Hut di Indonesia menilai kalau kondisi bisnisnya saat ini lebih parah dibandingkan dengan yang mereka alami saat COVID tahun 2020.
Hal ini sebagai dampak dari gerakan Boycot terhadap brand yang ditudin terafiliasi dengan Israel.
Gerakan Boycot ini semakin memanas sejak beberapa bulan terakhir di tahun 2023 yang mana saat perang Palestine dan Israel kembali pecah dan banyak memakan korban.
Persepsi ini tentunya tidak sengaja dibentuk oleh Pizza Hut maupun perusahaan lainnya, paling tidak di Indonesia.
Sebagai pebisnis, mereka hanya murni berbisnis dan mencari keuntungan dengan skema franchise yang dikelola oleh Pizza Hut Head Quarter di US.
Namun rupanya, tindak tanduk dari PH yang dikutip dari salah satu berita di US tentang keberpihakan mereka terhadap Israel, akhirnya meningkatkan sentimen market di seluruh dunia terhadap brand Pizza Hut secara global.
Terlepas dari benar tidaknya kesungguhan mereka berpihak, dan apakah hal tersebut mewakili keputusan bisnis dari internal manajemen Pizza Hut atau hanya inisiatif lokal cabang di Israel saja, perubahan persepsi market global tidak lagi bisa dibendung.
Lagi lagi sentimen masyarakat terhadap brand tersebut sudah berubah dan sepertinya sulit sekali bagi Brand untuk bisa keluar dari kungkungan sentimen seperti ini.
Hal yang mungkin sangat disesali oleh banyak pemegang lisensi dari merek merek terdampak di Indonesia, berbagai upaya pun ditempuh untuk, lagi, merubah arah sentimen publik.
Sentimen ini adalah hal yang sama sekali tidak bisa dikontrol, bahkan oleh banyak perusahaan besar.
Market lah yang memiliki otoritas penuh dalam mengendalikan keinginan mereka.
Sentimen sebagai risiko bisnis
Sentimen tidak melulu negatif, sebagaimana produk produk tersebut sebelum mengalami perubahan sentimen masyarakat.
Bahkan McDonald pun bisa menjadi bagian dari sejarah masyarakat yang melekat sekali selama puluhan tahun dan tidak bisa lepas dari para penggemar setianya.
Sebagaimana sentimen yang tidak melulu negatif, risiko pun juga ada yang positif.
Risiko positif itu bernama benefit.
Benefit bekerja sama dengan brand atau merek dengan sentimen yang sudah sangat melekat di market, maka akan memberikan pebisnisnya kemudahan dalam melewati fase fase awal berbisnis.
Namun risiko perubahan sentimen itu adalah keniscayaan, dan pemilik bisnis pada akhirnya perlu untuk mempertimbangkannya menjadi sebuah risiko bisnis di masa depan.
Cara menanggulangi perubahan sentimen
Menurut banyak pakar marketing, Seth Godin, Hermawan Kertajaya, Subiakto Prisodarsono, dan banyak lainnya, mereka semua sepakat kalau persepsi itu berada di market.
Anda sebagai pemilik bisnis tidak bisa mengontrol bagaimana masyarakat mempersepsikan brand Anda.
Sebagai pemilik bisnis, Anda-lah yang bisa memaparkan ke arah mana bisnis Anda bergerak, baru kemudian membiarkan market yang menilai.
Semua gerak gerik brand Anda harus termanifestasi dengan baik sebagai representasi dari identitas brand Anda.
Dengan begitu, sentimen tertentu akan tumbuh secara perlahan di masyarakat, dan bahkan semakin melekat setelah mereka berinteraksi dengan brand Anda.
Selain bergerak sesuai dengan identitas brand, Anda juga perlu memahami apa yang bisa mematahkan persepsi market terhadap brand Anda.
Menanggapi masalah sentimen negatif, Anda harus mampu mengidentifikasi anti-tesa terhadap posisi brand Anda.
Dalam beberapa kasus di atas, McD dan Pizza Hut adalah brand yang cukup solid sebagai restoran keluarga kelas menengah.
Namun anti-tesa itu muncul dari pemilik brand yang justru menciptakan sentimen negatif di ceruk market yang konservatif ini.
Mengganti merek pun bahkan tidak akan bisa menyelamatkan hal tersebut.
Bagaimana cara terbaik menanggulanginya?
Menceraikan brand dengan sentimen yang sudah sama sekali rusak, dan bangun yang baru.
Ya, pada akhirnya Anda harus kembali mengulang semua prosesnya tanpa legacy dari brand besar.
Mulai menjajakan sebuah identitas baru dan meninggalkan yang lama.
Saya melihat hampir tidak ada cara lain untuk memperbaiki kondisi ini.