fbpx

StartUp (and Down)

Internet tidak hanya merubah cara kita melihat dunia, lebih dari itu, dia juga memiliki andil besar terhadap perubahan pola pikir dan tentunya perilaku.

Berbisnis termasuk salah satu sektor yang sangat terdampak terhadap perubahan perilaku manusia karena internet.

Kata terdampak di sini berada pada dua sisi, yaitu sisi positif dan tentunya negatif.

Positif bagi mereka yang bisa berselancar mengikuti gelombang, dan menjadi bencana bagi mereka yang justru menganggapnya hanya sebagai riak-riak kecil yang tidak mungkin bisa menggulung dinasti bisnis konvensionalnya selama ini.

Efisiensi dan fleksibilitas seperti menjadi daya tarik yang mampu menarik para pebisnis untuk akhirnya ikut terjun dan berselancar bersama.

Sampai akhirnya muncul beberapa perusahaan berbasis internet yang datang seperti badai, menyapu dan bahkan merusak tatanan bisnis lainnya.

Para bisnis (yang memanfaatkan internet) ini lah yang nantinya dari mereka muncul istilah baru, yaitu Startup.

Sebuah terminologi menarik yang bisa sangat cepat mencapai titik tertingginya, penuh resiko, dan akhirnya mulai retak belakangan ini.

Internet sebagai Peluang

Berbicara mengenai era era awal berdirinya perusahaan berbasis internet, tentu tidak bisa lepas dari apa yang terjadi di Amerika (United States).

Ada beberapa kisah legenda tentang berdirinya perusahaan perusahaan berbasis internet yang menarik, dan akhirnya mendisrupsi dan merubah sama sekali perilaku kita sampai hari ini.

Paypal

Seperti Paypal yang didirikan pada tahun 1998 hasil kerjasama antara Confinity oleh Peter Thiel dan Max Levchin dan X(dot)com oleh Elon Musk, yang melakukan disrupsi yang sangat menarik pada saat itu.

Paypal datang menghadirkan cara baru bertransaksi perbankan yang mana awalnya mengharuskan seseorang untuk datang ke bank dan melakukan transaksi, sampai melakukan transfer bank cukup dilakukan di komputer di rumahnya saja.

foto bersejarah elon musk dan peter thiel membangun paypal

Skeptis? Ya. Wajar mengingat mungkin regulasi dan adaptasi digital (kepemilikan komputer) belum terlalu masif.

Namun seiring dengan kepercayaan terbangun, tahun 2000 atau sekitar 2 tahun setelah perusahaan ini berdiri, tecatat sudah 1 juta orang yang menggunakan layanan Paypal tersebut melalui Platform eCommerce EBAY.

Beberapa Bank konvensional pada saat itu mungkin pada awalnya menganggap Paypal sebagai riak-riak kecil yang tidak akan bisa mengganggu stabilitas bisnisnya.

Namun nasib berkata lain, Paypal (pada saat dibeli oleh Ebay tahun 2002) memiliki valuasi US$1.5 Milliar atau sekitar Rp. 23 Milliar Rupiah (Rp. 15.000), dan memiliki volume transaksi hingga US$ 8 milliar pada tahun 2006.

Amazon

Perusahaan yang satu ini hampir tidak boleh terlewat pada saat mereview beberapa legenda bisnis internet yang sekarang sudah menjadi raksasa.

Amazon didirikan oleh Jeff Bezos yang pada awalnya hanya menjual buku fisik di toko online-nya tersebut.

Foto bersejarah jeff bezos mendirikan amazon di garasinya

Seiring berjalannya waktu, Amazon sekarang sudah menjadi toko online terbesar di dunia, beberapa menjulukinya ‘World-everything-store’ karena saking banyaknya SKU (Stock Keeping Unit) produk yang ada di warehouse mereka.

Amazon merupakan pionir toko online yang memudahkan siapapun berbebelanja kebutuhannya secara online tanpa harus susah payah pergi ke supermarket dan capek antri untuk membayar.

Tidak bisa dipungkiri, keberadaan toko kecil bahkan big box sekalipun terdisrupsi dengan kehadiran Amazon.

Bezos melihat internet sebagai peluang di tahun 1994, kemudian mencatatkan keuntungan pertamanya di sekitar tahun 1999-2000 dan menjadi raksasa bisnis online sampai saat ini.

Lihat bagaimana mereka dan banyak perusahaan lain memanfaatkan gelombang internet untuk berselancar dibanding memilih untuk tegar dan terhempas.

Kesuksesan beberapa bisnis besar itu mengilhami anak-anak muda lainnya untuk juga bisa berbisnis (baca : menjadi kaya) dengan internet.

Kejayaan Startup Internet

Terms atau istilah startup itu umumnya disematkan kepada perusahaan yang masih merintis bisnisnya, kemudian terjadi penyempitan makna menjadi hanya perusahaan berbasis teknologi yang sedang merintis.

Intermezo : selain Startup kita juga mengenal istilah bootstrap, yaitu perusahaan rintisan yang tumbuh secara organik menggunakan dana sendiri, di luar dana investor.

Sebelum tahun 2000, di US sangat banyak perusahaan berbasis internet bermunculan dengan beragam layanan dan produk yang ditawarkan.

Melihat besarnya market yang ada, para Venture Capital (VC) atau investor ini juga melihat ini sebagai peluang.

Alih alih ikut berbisnis, para VC ini hadir untuk mendanai kebutuhan para pebisnis internet tersebut.

Melihat banjir uang dari investor ini, membuat para pebisnis ini semakin semangat untuk membangun bisnisnya dan melakukan pitching atau pendekatan ke para investor tersebut.

awal mula terjadinya bubble sebelum dotcom bubble tahun 2000 di amerika

Bahkan dari sudut pandang tertentu ada juga yang hanya membangun website saja, tanpa ada bisnis yang jelas di dalamnya yang berhasil pitching dan mendapatkan dana dari investor.

Era ini dianggap sebagai titik balik internet yang kelak bisa menggeser entitas bisnis bahkan posisi orang terkaya di Dunia.

Kegilaan VC yang membanjiri Startup dengan dana investasi ini berujung kurang baik sampai VC kehabisan dana dan para Startup tersebut tidak kunjung memberikan return yang diharapkan.

Spekulatif.

Dan akhirnya muncul istilah dotcom bubble.

Dotcom Bubble

Anda mungkin banyak mendengar istilah ini saat melihat apa yang terjadi belakangan ini di tahun 2021-2022.

Beberapa startup tanah air terpaksa harus mengurangi fiturnya, mengurangi jumlah karyawan, mengurangi fitur, bahkan menutup bisnisnya.

Sesuatu yang sebetulnya umum terjadi, namun kali ini berbeda karena bukan karena dinamika pasar melainkan karena hal yang cukup sistematis, karena drop dalam waktu yang cukup berdekatan.

Ya ada yang menyamakan kondisi sekarang ini dengan apa yang terjadi di awal tahun 2000-an lalu.

Easy Money adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi sebelum peristiwa dotcom bubble muncul dimana para VC sangat mudah menggelontorkan uang ke Startup.

Beberapa startup yang IPO di NASDAQ mayoritas adalah perusahaan berbasis internet yang valuasinya terus bertumbuh dengan vision atau iming-iming pertumbuhan internet pada saat itu.

dotcom bubble burst terjadi di april 2000 saham turun

Sampai akhirnya para VC mulai kehabisan dana dan tak kunjung mendapatkan return positif dari hasil investasinya.

Akhirnya valuasinya anjlok secara beruntun bahkan hingga 77% .

Gila !

grafik penurunan saham saat terjadi dotcom bubble burst tahun 2000

Hasilnya banyak perusahaan startup yang harus gulung tikar dan meninggalkan hutang bertumpuk, walaupun ada juga mereka yang beruntung untuk menjual sahamnya sebelum bubble itu burst (pecah).

Inovasi Segar ala Startup

Terlepas dari apa yang terjadi pada tahun 2000-an tersebut (dotcom bubble), sebetulnya agilitas dan luasnya cakupan market para Startup ini sangat menarik.

Sebagaimana Paypal yang memudahkan siapapun melakukan aktifitas perbankan, sebagaimana Amazon yang memudahkan siapapun untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan, kemudahan yang internet tawarkan ini sangat berdampak.

GOJEK termasuk salah satu perusahaan Startup (dulu) yang akhirnya merubah cara kita berpindah dari satu titik ke titik lainnya.

startup memberikan inovasi yang merubah kebiasaan orang untuk hidup

Awal tahun 2017 masih sangat awam bagi kita untuk menerimanya, bahkan mendapat penolakan dari incumbent yaitu Ojek pangkalan dan angkutan umum.

Namun pada akhirnya semua berkenan menerimanya karena basis pengguna yang semakin banyak dan semakin masif terjadi di banyak kota di Indonesia.

Bukalapak juga termasuk salah satu pionir startup marketplace yang juga meng-amazon-kan masyarakat Indonesia yang ingin juga berbelanja lewat internet.

Celah-celah keluhan terkait penjual yang tidak amanah, paket yang hilang saat pengiriman, dan lainnya perlahan-lahan tertutupi dengan baik.

Industri eCommerce, Ride Hailing, Financial Technology dan beragam niche startup lainnya menjamur menjadi salah satu industri yang sangat cepat pertumbuhannya di Indonesia.

Beragam variasi model bisnis pun berkembang, beberapa startup mulai mendisrupsi para pebisnis konvensional, bahkan bersaing antar startup.

Mungkin hampir semua bisnis teknologi di US dan Eropa “diterjemahkan” menjadi bisnis baru dengan sentuhan Indonesia.

Indonesia sebagai market terbesar di Asia Tenggara ternyata juga mengundang para Venture Capital (VC) untuk turut andil dalam industri yang sedang bertumbuh ini.

Milliaran dolar sudah digelontorkan para VC seperti Seqoia Capital, Andreessen Horowitz, Tencent, dan lainnya ke banyak startup di Indonesia.

Semua anak anak muda ingin belajar pemrograman internet, ingin bisa menjadi produk manajer digital, digital marketing, SEO Specialist dan jabatan jabatan baru yang membingungkan para Baby Boomer dan X.

Ide ide segar dan disruptif dari para Startup ini sayangnya harus dibayar sangat mahal.

Model Bisnis Startup

Aneh !

Mungkin hal yang sama juga terjadi dari sudut pandang para pebisnis konvensional terhadap apa yang para Startup ini lakukan.

Berita teknologi belakangan ini heboh dengan pemberitaan kucuran pendanaan.

Seperti Startup A mendapatkan kucuran dana segar dari investor sebesar XX dolar dengan foto para pendirinya yang berpose melipat tangannya di depan.

Kucuran dana ini adalah keanehannya.

Para pebisnis konvensional mungkin bingung bagaimana bisa mereka mendapatkan uang sebanyak itu dari investor sedang mereka mungkin mengandalkan uang sendiri, pinjaman bank, atau rumahnya sebagai jaminan.

Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah kucuran dana itu bukanlah sebuah pemasukan (revenue) bagi perusahaan.

Melainkan hutang (liabilitas) yang kelak harus mereka kembalikan dengan kesepakatan tertentu.

Tidak hanya sekali, kucuran dana tersebut bahkan sampai berjilid-jilid, mereka mengemasnya menjadi istilah ‘putaran’ atau seri A, B, C dan seterusnya.

Dengan kondisi pertumbuhan yang fantastis namun kerugian sepertinya yang juga tidak sedikit.

biaya operasional startup yang lebih besar dari pendapatannya

Uang dari investor tersebut mereka gunakan untuk menjalankan kembali operasional bisnis.

Para pebisnis konvensional akan mengkritisi hal tersebut : “kalian ini berbisnis cari untung atau cari apa?”

Jawaban cliche-nya adalah memberikan impact langsung ke masyarakat.

Rasio revenue dengan biaya marketing yang nyaris sama membuat perusahaan bahkan hampir tidak bisa menggaji karyawannya sendiri.

Trilliunan pendapatan nyaris hangus bahkan habis untuk biaya marketing dan operasional.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Capital Gain mungkin bisa menjadi salah satu jawaban yang menarik.

Model bisnis Startup pada umumnya di desain untuk bisa bertumbuh secara masif dan eksponensial dengan mengabaikan efisiensi.

Jumlah pengguna atau Gross Merchandise Value (GMV) mungkin menjadi salah satu parameter yang bisa dijual ke investor.

valuasi startup meningkat berdasarkan revenue sedangkan profit cenderung negatif

“kami memiliki satu juta pengguna saat ini, dengan rata rata pembelanjaan bulanannya sekitar sekian juta rupiah, dalam setahun sekian miliar transaksi sudah terjadi di toko online kami”

“Berdasarkan data tersebut, revenue kami setiap tahunnya yaitu 100 M, dan diprediksi bisa mencapai 500 M dalam 2-3 tahun kedepan dengan strategi A, B dan C”

Jelas founder dan CEO Startup, baru kemudian VC menjawab :

“Ok, saya invest, namun dalam 3 tahun, nilai valuasi kalian jadi sekian Miliar dan kami exit dengan valuasi 5x lebih besar di bandingkan saat ini”

Kurang lebih seperti itu dari seri A, B, C dan seterusnya.

Apakah akan sampai pada seri Z ?

Sepertinya terlalu jauh, umumnya saat mereka sudah saturated dengan valuasi yang sudah terlalu besar, mereka akan melakukan IPO.

Alias menjual sahamnya ke publik untuk mendapatkan dana tambahan.

Akhirnya munculah perusahaan perusahaan teknologi yang melakukan IPO.

Apakah IPO itu adalah goal semua startup?

Pertumbuhan di atas efisiensi

‘Skandal’ melantai di bursa saham dalam kondisi merugi ini tercatat pernah dilakukan oleh Amazon yang pada saat IPO, mereka sama sekali belum mendapatkan keuntungan (profit) pada saat itu.

Nyaris 5 tahun setelah itu, baru mereka mencatatkan keuntungan pertamanya.

Lantas bagaimana kondisi keuangannya selama 5 tahun ke belakang?

Ya, mereka mengalami kerugian.

Namun, bagi Amazon itu bukan masalah, karena sebagaimana dituliskan di statement letter pertama kali oleh Jeff Bezos tahun 1997 bahwa Amazon adalah projek jangka panjang.

surat kepada share holder dari jeff bezos dari amazon tahun 1997

Bezos lebih dulu berorientasi pada pertumbuhan yang masif dan eksponensial sampai akhirnya baru mulai berfokus melakukan efisiensi.

Facebook juga memiliki pendekatan yang sama pada saat itu, “Move fast, Break things” adalah slogan Facebook yang mengedepankan pertumbuhan dibandingkan efisiensi.

Baru kemudian Sheryl datang dan menjadi penggerak Facebook untuk mendapatkan keuntungan.

Keuntungan atau profitabilitas bisa dibilang bukan Prioritas dari startup teknologi.

Mereka berfokus pada cakupan market share atau tumbuh secepat cepatnya, tentunya dengan modal dari investor.

Sebagaimana akhirnya Startup dengan status Unicorn pertama di Indonesia, Bukalapak, yang juga melantai dalam keadaan rugi selama hampir 10 tahun berjalan.

GOTO alias Gojek dan Tokopedia pun juga melakukan hal serupa yang pada saat IPO, masih memikul trilliunan kerugian.

Walaupun demikian, baik itu Bukalapak, Gojek, dan Tokopedia telah mencetak pertumbuhan yang fantastis dengan ratusan juta jumlah pengguna dan trilliunan revenue selama beberapa tahun ke belakang.

Hal ini, hampir tidak mungkin dicapai oleh perusahaan konvensional yang mengandalkan cara cara lama dalam mendapatkan keuntungan.

“Ya tapikan untung , ga rugi”

Sebagai mana penjelasan sebelumnya, orientasi mendapatkan keuntungan bukan prioritas, capital gain dan impact adalah tujuan utama mereka.

Terbukti bahwa revenue GOTO bahkan berkontribusi terhadap 1 persen terhadap GDP.

Impact atau dampak yang diberikan tidak main main, namun biaya yang harus dikeluarkan juga tidak main main.

Efisiensi, Pada Akhirnya

Move fast, break things” seperti sudah kehilangan unsur magisnya.

Beberapa VC mulai selektif dalam memilih bisnis mana yang mereka inginkan.

Para investor ingin lekas memanen hasil tanam bibitnya selama ini melalui IPO dengan nilai pengali yang cukup tinggi.

Pertumbuhan yang masif sudah bukan lagi prioritas, dan para investor menginginkan uangnya kembali dalam bentuk capital yang sudah berkali lipat nilainya.

Kontribusi VC terhadap iklim investasi ke Startup memang menurun belakangan ini.

Menurut CB Insight, pada Q2 2022, terjadi penurunan investasi sebesar 23% dari VC ke beberapa perusahaan Startup di seluruh dunia.

pendanaan atau funding dari VC menurun di tahun 2022

The Fed Amerika, mentargetkan suku bunga atau interest rate naik hingga 4.5%, yang pada tahun 2021 masih berkisar pada nol koma sekian persen selama pandemi.

Intermezo :

The Fed atau Federal Reserve Bank adalah bank sentral US yang bisa dikatakan sebagai lembaga keuangan terkuat di dunia, dan salah satu sumber pemasukan mereka adalah dari interest charge.

Dengan penargetan yang cukup tinggi dan signifikan ini, tentunya membuat market yang sedang perlahan lahan membaik ini mulai kembali berhati hati, termasuk para VC.

Kita bisa berasumsi kalau VC menahan uang mereka karena menilai akan ada penurunan kebutuhan market seiring dengan nilai produk supply yang meningkat karena kenaikan suku bunga tersebut.

Ditambah lagi dengan nilai inflasi sekitar 5% di Indonesia, dan 7% di US, seolah menambah tekanan para VC untuk lebih bijak menggunakan uang mereka.

‘Aliran’ uang tersebut kini mulai mengecil nilai debitnya, atau bahkan tidak mengalir sama sekali.

Akhirnya banyak ‘bibit’yang sudah ditanam sudah tidak bisa lagi bertumbuh, bahkan mati karena tidak adanya ‘aliran’ uang yang cukup untuk mendanai pertumbuhan mereka.

Perusahaan mulai berpikir untuk bagaimana bisa tetap bertumbuh tanpa ‘kucuran’ dana tersebut.

Efisiensi adalah jalan terbaik yang mungkin bisa diambil untuk memperlebar rasio margin, dari minus menjadi positif beberapa persen.

Beberapa divisi yang mungkin tidak terkait dengan core business untuk mencetak uang, perlu sedikit dirampingkan.

Target mereka kini sudah bukan lagi melakukan masif melakukan akuisisi, melainkan memperbesar retensi, atau memperlebar margin.

Memperbesar retensi

Retention atau retensi adalah proses setelah akuisisi yang mana bila akuisisi itu sukses secara keseluruhan, maka retensi tinggal menunggu waktu saja.

Retensi adalah tentang bagaimana pelanggan bisa kembali datang secara frekuensional untuk berinteraksi kembali, minimal dengan aplikasi, maksimal dengan transaksi.

grafik retention rate yang belakangan ini sedang diperhatikan oleh Startup

Promo pengguna baru sudah tidak lagi relevan di tahap ini.

Goal mereka pada tahap retensi ini adalah membuat pelanggan sesering mungkin melakukan transaksi atau menambah besaran transaksi yang mereka lakukan.

Kalau Anda pada pembelian pertama hanya membeli aksesori smartphone senilai 100K, maka harapannya datang kedua untuk membeli smartphone 5000K, atau bahkan upgrade menjadi 20.000K.

Pengulangan kungjungan dan kenaikan nilai rata rata pembelian (Average Order Value) inilah yang diharapkan bisa membawa perusahaan menjadi positif.

Memperlebar Margin

Margin yang lebar membuat perusahaan lebih leluasa dalam mengatur keuangannya.

Dengan pengurangan biaya operasional, secara teori, kontraksi margin bisa sedikit terbantu.

Beberapa perusahaan eCommerce marketplace mulai berorientasi mencari margin dari produk produk yang terjual di platform.

startup mulai berpikir kepada profitabilitas dengan memperlebar margin

Saya pernah membahasnya pada tulisan lain yang memberikan opsi opsi yang mereka lakukan termasuk beralih dari B2C ke B2B dan mulai menjalankan fulfillment business model.

Ada yang mengambil margin transaksi sekian persen untuk kategori produk tertentu, ada yang mengambil dari layanan, dan dari produk yang inbound dan outbound di warehouse mereka.

Pada level tertentu, seperti Blibli bahkan sudah mulai berpikir untuk menjual produk produk private label untuk memperlabar margin.

Langkah ini cukup jenius menurut saya dan tentunya hanya layak dilakukan oleh perusahaan dengan skema warehousing yang sudah matang.

Ketersesuaian Kembali

Dalam blognya, Scott Galloway memprediksi kalau 2022 akan menjadi ‘tahun (gelembung) pecah’ atau ‘The year of the Pop’ setelah tahun 2021 adalah tahun penggelembungan ‘The year of bubble’.

Tidak hanya startup, beberapa perusahaan dengan nilai valuasi yang ‘melebihi’ fundamental bisnisnya terkoreksi dengan cukup dalam, bahkan ada yang sampai 80% terkoreksi.

Gila !

Prof Galloway melihat valuasi sebagai parameter yang tidak sesuai dengan keadaan fundamental bisnis perusahaan, dan akan sangat mungkin terkoreksi.

banyak saham perusahaan terkoreksi sangat dalam tahun 2022 sudah diprediksi oleh scott galloway

Sebagaimana beberapa perusahaan teknologi yang sudah kadung IPO di Indonesia.

Beberapa pengamat menilai kalau valuasinya terlalu besar dan nilai jual yang cukup tinggi, sangat tidak relevan dengan apa yang terjadi difundamental bisnisnya yang masih merugi trilliunan rupiah.

Gap ini yang sepertinya akan mengalami ketersesuaian kembali atau re-adjustment.

Valuasi kembali ke nilai ‘seharusnya’, model bisnis kembali ke asalnya yang mandiri dari keuntungan penjualan (bukan dari investor), para pekerja teknologi juga mulai menyadari batasannya, dan banyak hal lainnya.

Beberapa orang berspekulasi kalau iklim startup akan meredup pasca para VC yang cenderung lebih selektif dalam memilih startup untuk didanai.

Namun saya kira tidak.

Justru iklim stratup saat ini akan terasa lebih sehat dan fair dengan persaingan yang sepadan satu dengan yang lainnya.

Tidak ada lagi banting-bantingan promo yang tidak masuk akal, tidak ada lagi adu kegilaan, melainkan berkompetisi untuk memberikan layanan terbaik dengan produk atau fitur terbaik yang bisa membantu kebutuhan masyarakat.

Tetap bisa memberikan dampak, dan juga tetap bisa mendapatkan keuntungan.

Seolah alam kembali seimbang dan berjalan sebagaimana mestinya.

Merasa Terbantu? Share lah, kasih tau yang lain jangan pelit pelit :
First
Hire Me
Ngobrol
Podcast
Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.