Beberapa tahun terakhir ini, sebagai masyarakat awam, kita banyak terpapar bahasa bahasa asing yang mungkin tidak sepenuhnya juga bisa kita pahami.
Seperti Industry 4.0, Web3, Blokchain, dan yang terakhir cukup bikin heboh yaitu Metaverse.
Persisnya selepas Facebook berganti nama menjadi Meta pada tahun 2021 yang akhirnya membuat terminologi Metaverse menjadi semakin hangat untuk dibicarakan.
Sejak kemunculannya, Metaverse banyak menimbulkan spekulasi, salah satu diantaranya yaitu sebagai cara Facebook Inc. untuk rebrand dari nama Facebook yang mungkin sudah kadung memiliki citra yang tidak terlalu baik sebagai sosial media.
Elon Musk juga pernah sempat meragukan viabilitas Metaverse yang dinilainya ‘bukan seperti itu’.
Bahkan saya pun juga memiliki spekulasi sendiri yang menyebutkan bahwa Metaverse itu hanya cara bagi Facebook (sekarang Meta) untuk memenangkan persaingan device.
Yang mana kita tahu bahwa Meta Inc. adalah app based pada perangkat (device) sehingga mereka cukup terdampak ketika regulasi dari si pemilik smartphone dirubah.
Bagi saya, Metaverse itu adalah peluang bagi Meta untuk mengembangkan populasi device-nya, yaitu Oculus.
Namun, beberapa berita menarik belakangan ini membuat saya berpikir kembali tentang apa yang Meta lakukan.
Yang awalnya terjadi penolakan, namun pada akhirnya otak saya mulai bisa memprosesnya dengan cukup baik.
Saya menyadari kalau apa yang Meta dan beberapa raksasa teknologi lain lakukan adalah hal yang cukup bahkan sangat masuk akal.
Mereka bersaing untuk sebaik baiknya menyajikan perasan dari sebuah teknologi, yaitu Sense of Presence.
Bukan Metaverse, Ini Topik Persaingan Raksasa Teknologi Saat Ini
Online Meeting
Terima kasih kepada Pandemi yang akhirnya mengkatalisasi dan menormalisasi virtual meeting.
Frasa “Zoom Meeting” mungkin sangat sering kita dengar sejak awal Pandemi COVID-19 sebagai pengganti dari pertemuan tatap muka konvensional.
Zoom sebagai salah satu aplikasi yang cukup populer digunakan untuk pertemuan virtual ini pun mulai banyak terinstal di banyak perangkat seperti Smartphone dan Laptop/PC.
Esensi dari Zoom adalah mempertemukan Anda, face-to-face dengan orang lain di tempat yang berbeda di waktu yang sama.
Walaupun sebetulnya Zoom bukan satu satunya aplikasi yang bisa mempertemukan dua atau beberapa orang secara vitual, tapi zoom dinilai lebih leluasa bagi beberapa orang untuk melakukan pertemuan.
Kita mengenal WhatsApp video Call untuk ngobrol secara tatap muka virtual, atau mungkin Google Duo (sekarang Google Meet) yang cukup mudah digunakan.
Namun, alih alih menggantikan pertemuan yang sebenarnya, Zoom justru membuat kita lelah dan tetap merasa hampa.
Beberapa anak muda mencoba untuk membuat event online party dengan zoom dan beragam aktifitas lainnya, namun seperti masih ada yang kurang.
Terlebih saat Anda benar benar berjumpa dengan lawan bicara Anda, maka memori dan perasaan Anda akan lebih terkesan akan kehadirannya yang ternyata sama sekali tidak bisa tergantikan dengan virtual meeting.
Sense atau rasa ini yang sebetulnya hilang.
Metaverse
Metaverse adalah sebuah terminologi yang sebetulnya sudah lama dibicarakan oleh kalangan pegiat teknologi virtual.
Namun semakin Booming saat Facebook mengganti namanya menjadi Meta yang mengacu ke Metaverse.
Mudahnya, Metaverse adalah dunia virtual, dimana Anda bisa melakukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan di dunia nyata.
Cukup rumit menjelaskannya, namun karena ini virtual, jadi apapun imajinasi Anda tentang sebuah dunia, bisa Anda wujudkan dalam bentuk virtual di Metaverse.
Selang beberapa waktu setelah Metaverse itu menjadi trend, hampir semua bisnis ingin juga berkontribusi membangung representasi bisnisnya di sana.
Sampai akhirnya beberapa pengamat menilai kalau apa yang dilakukan oleh Mark dengan Metaverse-nya terbilang kurang realistis, bahkan diprediksi akan gagal.
Dengan dukungan hardware yang melelahkan, tampilan avatar dan universe yang seperti game, mereka menilai Metaverse akan hanya menjadi projek ambisius yang sepertinya tidak akan berhasil.
Masyarakat mungkin menilai kalau apa yang dilakukan oleh Mark ini tidak bisa diimplementasikan di kehidupan sehari hari.
Penuh isu isu panas yang mungkin semakin liar, pada momen peluncuran Oculus terbarunya, Mark berkenan untuk ngobrol langsung pada podcast yang diselenggarakan oleh The Verge.
Menarik sekali saat kita bisa berasumsi kalau memang Mark menilai Metaverse ini masih sangat jauh dari apa yang mereka mimpikan.
Akhirnya saya melihat trend ini bergeser dari full meta-verse menjadi real-meta-verse.
Mixed Reality
Frasa Mixed Reality ini muncul di percakapan mereka, dan saya cukup terpaku mendengarnya.
Apakah artinya Mark menyadari kalau Metaverse bukan sebuah replacement dari real-universe?
Baik, mungkin terlalu dini.
Mixed Reality adalah sebuah istilah yang digunakan untuk memadukan antara tampilan virtual dengan apa yang ada di dunia sebenarnya.
Berikut tampilan yang muncul saat YouTuber MKBHD memasukkan kamera Smartphonenya ke Oculus dan lihat tampilannya.
Anda bisa lihat kalau Laptop yang ada di sana, itu adalah laptop asli yang ada di dunia nyata, sedangkan 3 layar besar di belakang laptop tersebut adalah virtual.
Sangat menarik ya saat kita tetap bisa melihat ruangan kita berada sebagaimana mestinya, kemudian dipadukan dengan teknologi yang menunjang kebutuhan kita.
Apa bedanya Mixed Reality dengan Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) ?
Berikut perbedaan Mixed Reality, Virtual Reality dan Augmented Reality :
Virtual Reality
Anda masuk ke dunia yang sama sekali baru, dunia yang sama sekali tidak serupa dengan dunia nyata dimana semuanya adalah tampilan virtual dari kerapihan susunan pixel.
Anda pun beraktifitas atau berinteraksi secara virtual di sana.
Kalau boleh beropini, maka Metaverse yang belakangan ini diasumsikan adalah next level Virtual Reality.
Augmented Reality
Augmented Reality adalah perpaduan antara dunia nyata dengan objek virtual.
Contoh terdekat adalah saat ada toko online yang menyajikan fitur untuk mencoba tampilan kacamata di wajah Anda.
Atau tampilan makeup seperti lipstik yang match dengan kebutuhan Anda, atau furniture dari IKEA yang mungkin bisa muat masuk ke sudut tertentu di rumah Anda.
Keterbatasan AR ini adalah kita tidak bisa menyentuh objek virtual tersebut.
Mixed Reality
Ketika Anda bisa melihat dan menyentuh objek virtual dengan tetap menggabungkan tampilan dari dunia nyata, disitulah Mixed Reality hadir untuk Anda.
Mixed Reality adalah kombinasi keduanya, sebuah platform yang tidak sebatas dunia virtual sebagaimana VR dan tidak minim interaksi dengan objek virtual sebagaimana AR.
Namun lagi, kenapa Meta harus repot repot membangun teknologi tersebut?
Sense of Presence
Dalam interviewnya bersama The Verge, Mark menjelaskan sesuatu dengan pendekatan yang sangat humanis.
Mungkin kita menyetujuinya kalau Zoom Meeting dengan kamera terbaik pun sama sekali tidak bisa memberikan esensi atau rasa kehadiran yang sebenarnya.
Wajah kita sebatas pada tampilan layar dua dimensi yang sama seperti kita menonton TV.
Bahkan kita tidak saling menatap satu dengan yang lain melalui kamera, kita justru melihat orang lain saling melihat layar monitor.
Rasa ini yang hilang dan belum bisa digantikan oleh apapun termasuk oleh Metaverese.
Namun setelah Oculus yang baru dengan sudut pandang Mixed Reality ini dipublikasikan, sepertinya rasa itu bisa sedikit sedikit muncul.
Tidak lagi dengan avatar yang mungkin terlihat kekanak-kanakan seperti bermain game online, melalui perangkat Oculusnya, Meta mendesain tampilan yang realisitk seperti wajah aslinya.
Pada gambar terlihat kedua wajah yang tampil menghadap Anda adalah tampilan virtual yang diambil dari scanning dan gerakan wajah (termasuk) bibir pengguna Oculus.
Sangat realistis bukan?
Anda akan benar benar merasakan kehadiran seseorang tersebut di hadapan Anda.
Lebih dari sekedar mengobrol saling menatap layar, apalagi ngobrol dengan avatar yang tentunya lebih terasa aneh.
Mark melalui Oculus generasi terbarunya mencoba memperkenalkan device yang menurut saya sangat menarik ini.
Berkat semangat untuk menciptakan esensi kehadiran atau sense of presence ini lah mereka akhirnya bisa menghasilkan perangkat yang betul betul berbeda dan cukup mendekati devinisi “verse” yang kita bayangkan.
Apakah sense dari kehadiran itu benar benar bisa muncul dari perangkat yang canggih ini?
Di tempat lain, Google juga sedang membuat project yang mengagumkan.
Starline Project – Google
Kalau pada Meta Anda perlu menggunakan perangkat yang dipasang di kepala dan terfokus di mata, maka Google melakukan hal yang menarik.
Google sedang bekerja pada Projek Starline yang membuat lebih dari sekedar melihat layar pada pertemuan online, tapi membuatnya 3 dimensi.
Ya, tiga dimensi, sehingga Anda bisa melihat lawan bicara Anda dengan cukup nyata, dan bukan hanya layar 2 dimensi.
Mirip dengan apa yang Meta lakukan, namun bedanya Anda tidak perlu menggunakan perangkat apapun yang ditempelkan di wajah Anda.
Alat (yang cukup besar) dan layar khusus yang sudah terpasang di hadapan Anda akan memprosesnya.
Sehingga lawan bicara Anda seperti duduk di hadapan Anda dan saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Sangat menakjubkan, bukan?
Dengan teknologi yang cukup rumit dan perangkat yang masih cukup besar, maka teknologi ini mungkin masih akan beradaptasi dengan lebih baik kedepannya.
Lagi lagi dengan semangat Sense of Presence yang sesuai dengan tagline project ini yaitu : Feel like you’re there, together.
Beberapa orang di video tersebut pun terlihat haru saat melihat kerabatnya tampil di sana dengan begitu nyata.
Bagaimana dengan perusahaan raksasa teknologi lainnya?
Microsoft & Meta – Microsoft Team and Oculus
Selama ini kita tahu yang namanya perusahaan teknologi itu saling berkompetisi, khususnya 4 perusahaan yang umum dibahas oleh Prof Scott Galloway dalam bukunya The Four, yaitu Google, Microsoft, Amazon dan Facebook.
Namun yang satu ini menarik, Meta dan Microsoft memutuskan untuk bekerja sama dalam proyek ini.
Meta menawarkan Oculus bagi pengguna Microsoft Team agar keduanya bisa benar benar seperti meeting yang tentunya lebih dari sekedar saling menatap layar.
Dengan kecanggihan Oculus Quest Pro yang baru dari Meta, maka kita bisa berasumsi kalau pengguna Microsoft Teams tentu akan sangat senang apabila hal ini bisa dilakukan.
Mengutip dari wawancara Mark dengan The Verge, Meta melakukan ini karena mereka menyadari kekurangannya dalam berbisnis pada niche enterprise seperti yang microsoft lakukan.
Karena itu Meta memutuskan untuk menghapus batasan dan berkolaborasi dengan Microsoft yang tentunya sudah malang melintang di dunia enterprise.
Terlebih meta melihat pertumbuhan pengguna PC dan Laptop yang sangat besar, sehingga ada pangsa pasar dari Microsoft yang mungkin bisa Meta manfaatkan.
Semangat menciptakan rasa kehadiran ini lagi lagi menjadi renjana bagi kedua perusahaan besar teknologi tersebut untuk bergabung.
Semakin liar
Terobosan terobosan yang dilakukan oleh para perusahaan besar teknologi tersebut terbilang sangat menakjubkan.
Kita hampir tidak percaya kalau teknologi bisa sampai secanggih itu untuk tidak hanya sebagai alat atau benda mati saja.
Namun mereka juga bisa menciptakan rasa, emosi, yang umumnya hanya bisa diciptakan oleh makhluk yang memiliki perasaan.
Seperti dalam perhelatan menciptakan rasa dari kehadiran atau Sense of Presence ini.
Dengan pendekatan yang sangat humanis, teknologi dikembangkan sedimikian rupa untuk bisa memenuhi dan menggantikan kehadiran seseorang dengan rasa yang sama.
Hal ini membuat fantasi kita akan teknologi semakin liar dan mungkin bisa dibilang berbahaya apabila dimanfaatkan oleh orang orang yang tidak bertanggungjawab.
Saat dimana teknologi bisa menciptakan rasa atau perasaan, maka hubungan kita dengan teknologi ini akan semakin dekat dan nyaris tak terpisahkan.
Batas antara teknologi dengan manusia semakin tipis dan cenderung menghilang, sehingga transformasi manusia yang telanjang menjadi lekat dengan teknologi akan semakin sulit untuk dihadang.
Sejujurnya, dibalik perasaan kagum dan luar biasa terhadap kecanggihan teknologi ini, ada kekhawatiran yang mendalam.
Apakah Anda juga merasakannya?
Yuk diskusi.