Media sosial berkembang dengan sangat pesat, dan tentunya kita semua mengamini hal tersebut.
Sebuah adaptasi yang sangat masif dengan sekala pertumbuhan yang cukup algoritmis.
Pertumbuhannya bisa diprediksi setiap tahun dan sama sekali tidak ada penurunan.
Dalam kurun waktu 13 tahun (saat tulisan ini dibuat) Facebook sudah menjadi bagian hidup dari 2,9 Miliar orang.
Betul, Anda tidak salah baca, 2,9 miliar orang aktif berinteraksi di Facebook di tahun 2022 ini.
Sebagai gambaran, jumlah masayarakat Indonesia saat ini yaitu 278 Juta orang.
Ini artinya, Facebook kira kira sudah berisi 10 kali masyarakat Indonesia di dalamnya.
Ada 10 negara Indonesia, lengkap dengan populasinya yang aktif berinteraksi di Facebook.
Instagram dan Tiktok juga tidak jauh berbeda.
TikTok diprediksi akan mencapai 700+ juta pengguna di akhir 2022 nanti.
Polanya akan selalu seperti itu.
Sosial media akan selalu menjadi tempat berinteraksi utama bagi seluruh manusia di seluruh dunia.
Dari ribuan bahkan jutaan aplikasi yang ada di iOS ataupun di Android, sosial media menempati peringkat pertama di kategori ‘aplikasi yang paling banyak didownload’.
Apakah memang se-menyenangkan itu dan se-adiktif itu kita terhadap sosial media?
Dunia tanpa batas
Berkumpul dengan teman, pada era ’90-an mungkin masih mengandalkan warung kopi atau momen resmi seperti acara reuni atau kumpul keluarga besar.
Itupun kita hanya mendapatkan ‘hasil akhir’ dari apa yang mereka perbuat selama beberapa tahun ke belakang.
Sekarang, acara yang penuh kegembiraan dan cerita tersebut sudah tergantikan oleh sebuah platform sosial media.
Sebuah alat yang memungkinkan Anda mengetahui apa yang dilakukan oleh teman SMA Anda di waktu yang sesungguhnya (real-time).
Tidak perlu lagi menunggu hasil akhir yang dia ejawantahkan melalui reuni atau nongkrong kopi-darat, kini Anda bisa melihat perjuangannya langsung dari sosial medianya.
Lebih menarik lagi, bahkan Anda bisa mengetahui apa yang dilakukan oleh artis nasional bahkan internasional kesayangan Anda di saat yang sama.
Lihat bagaimana mereka liburan yang menyenangkan, bagaimana mereka mendekorasi rumah barunya, melihat review mobilnya, kegiatan anaknya yang lucu, dsb.
Anda bahkan bisa mengirimkan pesan (Direct Message) ke public figure tersebut kalau mereka memang memberikan celah untuk Anda melakukannya.
Dunia terasa sangat dekat tanpa batasan tempat, dan tanpa batasan waktu.
Akhirnya seluruh time-line sosial media kita berisi semua kegiatan teman dan influencer yang menyenangkan tersebut.
Ya, betul, menyenangkan, tidak mungkin dong mereka lagi kesusahan ga ada duit udpate status, ya kan?
Ha ha ha
Sang Alfa
Dalam sebuah komunitas atau sekelompok manusia, akan ada seorang yang memiliki bakat alami sebagai seorang Alfa.
Sebagai seorang yang disegani dan dihormati tindakannya, karena dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan keadaan.
Alfa bisa saja terdiri dari mereka yang palng kuat, yang paling memiliki sumber daya, dan juga yang paling bijaksana bertindak.
Dari sudut pandang antropologi, hal tersebut memang secara naluri akan terjadi.
Akan selalu ada Alfa yang kita tidak sungkan untuk menaruh harapan padanya.
Dengan posisi tersebut tentunya Alfa akan mendapatkan banyak kelebihan dibanding yang lainnya.
Dia mungkin memiliki hak untuk makan hewan hasil buruan terlebih dahulu, memilih tempat dan wilayah kekuasaan, serta beragam keuntungan sosial lainnya.
Pada era modern-pun, konsep Alfa ini juga tidak jauh berbeda.
Kita bisa melihat pemimpin yang memang memiliki naluri seperti seorang pemimpin, seorang artis yang kekayaannya luar biasa karena memang bakat yang dimilikinya.
Seorang konglomerat yang memang mampu mengelola beberapa perusahaan besar, dan sebagainya.
Sebagai beta atau orang-orang yang berada di luar Alfa, kita secara naluriah bisa memaklumi apa yang mereka lakukan.
Namun, melihat kelebihan atau previlege yang dimiliki oleh para Alfa, tidak menutup kemungkinan kalau kita juga menginginkan sebagian dari previlege tersebut.
Akhirnya kita berusaha untuk mengambil andil dalam kesehariannya.
Kita akan bangga apabila menjadi bagian dari orang terdekat dari para Alfa.
Itu yang akhirnya terjadi di sosial media yang penuh dengan konten influencer yang menyenangkan.
Kita ingin menjadi bagian dari mereka, atau bahkan menjadi seperti mereka.
Menjadi seorang Alfa yang disegani dan dominan.
Tidak jarang kita mulai bertingkah laku sebagaimana para Alfa memperlakukan dirinya di Sosial media.
Ya, nyaris semua perilakunya.
Kehidupan Sosial Media
Salah satu alasan kenapa kita meng-update status atau memposting sesuatu di sosial media adalah untuk menciptakan persepsi.
Kita menginginkan orang lain agar orang lain mempersepsikan kita sesuai apa yang kita kehendaki.
Bisa ditebak?
Ya, kita ingin dipersepsikan sebaik mungkin di sosial media.
Kita menginginkan orang melihat kita sebagai sang Alfa yang penuh dengan kelebihan.
Memanifestasikan status sosial kita di sosial media melalui Instastory, dan beragam format konten lainnya.
Sayangnya kita, lagi lagi, bukanlah para Alfa yang juga lahir dengan kelebihan tersebut.
Penuh tantangan bagi para beta untuk bisa terlihat seperti Alfa.
Akhirnya kita mempertaruhkan banyak hal, untuk, lagi, terlihat dan dipersepsikan orang sebagai seorang Alfa.
Gengsi
Mungkin itu istilah yang paling tepat untuk menyebut sebuah keinginan untuk dilihat lebih dan penuh previlege dibandingkan dengan subjek lain dalam satu komunitas.
Dinamika gengsi itu menarik, dia bisa dinaikkan, dan bisa diturunkan.
Gengsi juga merupakan manifestasi dari adiksi kita terhadap semburan dopamin ke otak.
Demi terlihat menarik di sosial media (baca : gengsi) kita tidak sungkan untuk membeli apa sesuatu yang mungkin di luar jangkauan kita.
Lagi, supaya kita bisa menjadi terlihat dominan diantara teman-teman atau keluarga.
Supaya Anda terlihat sebagai alfa dengan beragam previlege.
Namun, semua itu harus dibayar mahal.
Dibayar dengan tidur yang tidak tenang, pekerjaan non-stop 24 jam, dan tentunya uang.
Membayar mahal dengan uang adalah sesuatu yang terlihat paling rasional untuk menaikkan gengsi tersebut.
Bahkan sangat mahal, sampai mungkin kita tidak mampu untuk meraihnya kecuali dengan bantuan.
Paylater
Beberapa pebisnis melihat gengsi ini sebagai komoditas yang bisa diuangkan.
Sayangnya bukan hutang.
“Hah, apa itu hutang? saya tidak mau berhutang”
Salah kalau Anda ingin menguangkan kenaikan gengsi dengan sesuatu yang menurunkan gengsi dengan menggunakan istilah Hutang.
Tim marketing bekerja keras dan akhirnya menemukan istilah modernisasi dari hutang, yaitu Paylater.
Atau kalau dibahasa Indonesia-kan menjadi “Bayar Nanti“.
Skema bayar-nanti atau Paylater ini sangat diminati oleh masyarakat Indonesia.
Karena itu, tidak heran kalau beberapa perusahaan Financial Technology (Fintech) yang tentunya menawarkan pembayaran PayLater, mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Para pebisnis ini adalah mereka yang mampu melihat peluang untuk memonetisasi atau menguangkan gengsi.
Bahkan beberapa perusahaan besar memberikan maksimal limit sampai jutaan hingga puluhan juta.
Hal ini tentunya disambut baik oleh masyarakat Indonesia khususnya untuk mereka yang mungkin menginginkan kebutuhan gengsinya terpenuhi.
Baik, mungkin itu opini saya pribadi, walaupun mungkin ada yang memanfaatkan Paylater untuk memaksimalkan cash supaya lebih efisien.
Ya, datanya memang ternyata 48% pengguna Paylater adalah mereka yang memiliki gaji di kisaran 5-10 juta perbulan.
Tidak bisa dibilang kecil memang.
Mungkin memang kita bisa berasumsi kalau mereka menggunakan paylater sebagai cara untuk mengefisiensi keuangan (cashflow) mereka.
Namun kalau dominasi pembeliannya adalah barang, dan dengan nilai minimal pembelian tertentu, maka sepertinya tidak salah juga kalau kita asumsikan Paylater ini digunakan untuk lifestyle.
Tidak, sama sekali tidak salah kalau memang Anda mampu untuk membayarnya nanti dengan tambahan biaya administrasi sekian persen setiap bulannya.
Namun, mungkin terlihat kurang bijaksana.
Pft.. siapa peduli dengan kebijaksanaan mengelola keuangan?
Hasil akhir berupa item yang classy dan high-class lebih tangible dibanding kebijaksanaan.
Pengendalian Emosi
99% keputusan yang kita ambil dalam hidup ini didasari oleh keputusan emosional.
Di beberapa tulisan saya menyampaikan statement yang saya kutip dari buku super terkenal, Psychology of Money.
Begini ..
Makan adalah kebutuhan pokok, namun mau makan apa, itu ditentukan oleh emosional.
Mau makan di warteg dengan biaya 15 ribu?
Atau mau makan di restoran Fancy dengan biaya 80 ribu, plus tampilan makanan yang cantik untuk di-update di instastory?
Ha ha ha
Begitupun gengsi.
Gengsi adalah kemampuan kita mengelola aliran hormon dopamin di dalam otak kita.
Merubah persepsi tersebut menjadi : “tidak membutuhkan like, dan tidak membutuhkan respon dari semua orang atas pencapaian yang Anda dapatkan”.
Kedewasaan berpikir dan mengelola emosi menjadi kunci dalam mengontrol kebahagiaan.
Kebahagiaan kita bukan didasari oleh jumlah like, komentar, view, atau vanity numbers lainnya.
Kita yang mendefinisikan kebahagiaan kita sendiri.
“Define what your truely happiness is”
Itu jauh lebih penting, dan mungkin lebih menenangkan dari adiksi kita terhadap respon perhatian dari orang lain.
Jangan sampai keinginan Anda untuk mirror selfie dengan iPhone 13 Pro itu menjadi peluang bisnis bukan hanya bagi Apple, melainkan juga bagi penyedia jasa paylater.
ha ha ha
Saya tutup dengan satu kutipan menarik dari penulis novel yag sangat terkenal.
Semoga bermanfaat.